Jul 24, 2011

Wisuda

Yep, kali ini soal wisuda. Kau tahu apa itu wisuda? Ya, wisuda yang itu. Satu sentuhan akhir sebelum kelulusanmu. Ya, sentuhan itu yang kumaksud. Sebuah polesan akhir untuk memindahkan tali yang menjuntai tak berdaya dari topi toga seharga, 10 ribu mungkin, dari kanan ke kiri, atau sebaliknya entahlah. Bagian ini masih merupakan kontroversi hingga saat ini. Ada yang bilang, sebagian besar adalah mahasiswa yang akan di wisuda, kalau tali tak bersoda berdosa itu dipindahkan dari kanan ke kiri. Ada juga yang bilang, kubu ini didukung oleh para rektor dan dekan selaku pelantik, bahwa tali itu dipindahkan dari kiri ke kanan. Kalau disuruh memilih aku akan memilih kubu rektor dan dekan. Mereka yang memegang kuasa, iya kan? Menentang mereka bisa berakibat buruk, seperti pencopotan gelar, dan kurasa itu berarti akan ada acara untuk memindahkan tali itu dari... Ah, terserah mau dari kiri ke kanan atau dari kanan ke kiri. Lupakan bagian tali itu.



Yang ingin kubahas kali ini adalah soal TOGA dan pakaian dalam. Bukan, bukan pakaian dalam yang itu tapi baju yang dikenakan saat wisuda. Ya, baju itu. Kenapa dalaman itu harus seragam? Maksudku, saat kita menggunakan toga semua dalaman itu tak akan terlihat, jadi kenapa yang pria harus menggunakan kemeja lengan panjang berwarna putih lengkap dengan celana panjang hitam dan dasi kupu-kupu hitam dan yang wanita harus menggunakan kebaya? Kenapa tidak kemeja apa saja selama lengan dan kerahnya berwarna putih? Bukankah ini seperti tidak ada seorang pun yang akan peduli celana dalam apa yang kau gunakan saat bepergian, dalam konteks kali ini ke acara wisuda? Bukankah mereka tidak bisa melihatnya. Iya kan? Lalu, kenapa harus berwarna putih jika warna hitam atau pink hijau memungkinkan? Ngomong-ngomong, aku tidak sedang membicarakan celana dalam. Tapi kemeja lengan panjang. Jadi, jangan merasa tersinggung hanya karena kau menggunakan celana dalam putih ke acara wisuda. Lalu, soal kebaya, kenapa kebayanya tidak diberi batasan warna juga? Kebaya putih misalnya. Bukankah tidak adil kalau yang pria harus menggunakan kemeja lengan panjang berwarna putih dan celana panjang berwarna hitam sedangkan yang wanita dapat memilih warna apa saja selama benda yang dikenakannya adalah kebaya. Ini adalah diskriminasi ras dan gender, yang pria dibatasi sedangkan yang wanita diberi kebebasan. Setidaknya ada satu, hikmah yang dapat kita petik dari aturan ini yaitu Kartini pasti bahagia karena perjuangannya berhasil, karena dalam aturan ini wanita sudah diberi kebebasan dan sebaiknya Kartono mulai menyerukan Emansipasi Pria.

Terakhir, dan tak kalah pentingnya adalah mereka, para pembuat aturan itu, melupakan waria! Jenis kelamin ketiga di dunia yang semakin modern dan menyedihkan ini. Pakaian apa yang harus dikenakan mereka? Kebaya? Kemeja? atau, sekedar usul, kebaya dengan dalaman kemeja? atau, mungkin juga, kemeja dalam balutan kebaya. Yang manapun tidak masalah selama mereka tidak terlalu dilupakan. Ngomong-ngomong soal dilupakan, siapa yang akan menjadi pejuang emansipasi mereka? Kartino atau Kartoni? Semoga pertanyaan ini bisa segera terpecahkan sehingga mereka tidak lagi terombang ambing dalam kekejaman diskriminasi ras dan gender.

No comments:

Post a Comment