Dec 28, 2014

Revive

Hi, apa kabar? Tempat ini masih seperti dulu sepertinya. Eh, enggak deh. Lebih banyak debu sekarang.

Jadi, gini... Saya berpikir untuk kembali menulis di sini tidak pasti apakah akan setiap bulan atau setiap minggu. Yang jelas, setiap saya punya cerita untuk dibagikan, saya akan menuliskannya di sini. Kehidupan saya tidak terlalu menarik, jadi jangan terlalu berharap akan ada banyak cerita yang bisa saya bagikan. Oh, dan jangan harap ceritanya akan memberikan pengetahuan yang baru bagi kalian (siapapun yang membaca blog ini). Kenapa? Karena isi blog ini masih akan sama seperti sebelumnya absurd dan tidak berbobot. Kadang malah garing, jayus, dan krik krik krik. Haha.

Nah, alasan saya ingin menulis lagi di sini ada dua. Pertama, karena ada seseorang yang berjuang empat bulan untuk menemukan saya di dunia maya. Jadi, ini sejenis bentuk permintaan maaf for giving her such a fake hope. Hahaha. Dan rasa terima kasih untuk ceritanya. Grin. (Terlepas dari apakah dia akan membacanya atau tidak.) Alasan kedua, karena... Hmm, setelah dipikir-pikir alasan kedua terdengar memalukan. Jadi, lupakan saja.

So, here is the first story.

Kalian tahu tren bapak-bapak saat ini? Enggak cuma bapak-bapak sih, anak muda dan anak kecil juga ada beberapa yang mengandrungi tren ini. Saya enggak tahu apa nama resmi tren itu jadi kita sebut saja tren cincin dan batu. Tapi, kali ini saya cuma akan membahas tren batu. Iya, tren yang itu, yang membuat bapak-bapak jadi mulai kehilangan rasionalitas sampai mencari batu ditumpukan pasir.

Tarik napas kalian dalam-dalam, karena kita akan memasuki bagian paling sedih dari cerita kali ini.

Siap?

Oke, jadi pagi ini akhirnya... adik saya terjangkit penyakit itu. Saya sampai mau menangis melihatnya. Pagi-pagi, enggak ada angin enggak ada hujan, dia berpetualang ke tumpukan pasir dan dengan semangat empat lima mendeklarasikan niatnya untuk mencari batu. Lalu, setiap lima sampai sepuluh menit dia kembali ke rumah membawa... batu. Tidak hanya satu atau dua, kadang sepuluh yang menurut pengelihatan saya semuanya batu. Batu dan tidak berharga. Tapi, sebagai kakak yang baik hati dan tidak sombong, saya cuma bisa mengelus dada.

Setelah batunya terkumpul, dia menuju dapur mengambil asahan pisau ibu saya, lalu mulai mengasah batunya. Mengasah sepertinya bukan istilah yang tepat karena semua batu itu tidak bertambah tajam mereka makin tumpul dan halus. Saya mulai meragukan kemampuan mengasah asahan pisau ibu saya. Entah, ibu saya tertipu oleh tukang jualan asah pisau atau memang atas dasar pengematan dia membeli asahan pisau yang lebih murah sehingga hasilnya kurang memuaskan.

Kembali, ke batu-batu yang semakin lama semakin halus dan semakin banyak. Singkat cerita, ngebala.

Setelah mengas—menghaluskan banyak batu akhirnya dia menemukan batu. Iya, ini terdengar aneh. Jadi, kalian simpulkan saja sendiri dari percakapan di bawah ini.

Adik Saya : "Akhirnya, gw nemuin batu nih."
Saya : "Mana coba gw lihat?" (sambil mencoba untuk bersabar dan menahan diri untuk berkata "Ya dari tadi yang lo ambil itu kalau bukan batu apa namanya?!!)
Adik Saya : (dengan tampang polos tidak berdosa menunjukkan batunya pada saya.)
Saya : (melihat dengan tampang bego, mencoba untuk memahami dari sisi mana batu itu berbeda dari batu-batu yang sebelumnya, yang dikategorikan oleh adik saya sebagai bukan batu.)
Adik Saya : "Lihat nih, gw yakin yang ini batu. Warnanya kuning."
Saya : "Apanya yang batu, warnanya kuning begitu." (saya juga enggak tahu apa yang saya ucapkan tapi berdasarkan pengalaman saya selama hidup di dunia ini, warna kuning lebih identik dengan sesuatu yang bau bukan batu.)
Adik Saya : "Lihat ini. Warnanya kuning begini."
Saya : "Justru karena kuning."
Adik Saya : "Ya udah kalau lo gak percaya." (mengalihkan perhatiannya pada proses penghalusan batu lagi.)
Saya : ... (pergi dengan senang hati.)

Lima menit kemudian.

Adik Saya: "Kayaknya ini bukan batu."

Dan setelah tiga jam bolak balik antara dapur dan tumpukan pasir, akhirnya adik saya menyerah. Fiuh, untunglah.