May 7, 2011

Surat untuk Otak

"Kenapa sulit sekali menulis setidaknya satu paragraf yang tidak hanya baik dan benar secara penulisan tetapi juga bermakna?", pertanyaan itu muncul begitu saja setelah memeriksa kembali ratusan kata dan ribuan huruf bodoh dan tolol yang sudah ditulisnya. Semakin dibaca, ia merasa tulisan itu semakin tidak layak untuk dipublikasikan. Ia bingung, penasaran, dan sangat tidak mengerti. Menulis merupakan hal yang menarik, banyak yang tidak bisa terjadi di dunianya, bisa terjadi di tulisannya. Tapi, setiap kali dihadapkan pada kertas putih itu, penanya tidak bergerak, otaknya beku, dan idenya diam, tidak bersuara seakan melarangnya untuk menulis.

Apa sebenarnya yang terjadi? Bagaimana mungkin otaknya beku, jika ia duduk di ruangan 3x3 yang bersuhu 40 derajat celsius, suhu ruangan itu harusnya mengencerkan otaknya sehingga setiap ide yang bahkan berada di setiap kolong jembatan terdalam dari otaknya dapat menggalir keluar seperti air mancur di laut jawa. Mungkinkah keringat yang keluar justru memadatkat otakku? Ehm, mungkin aku harus lebih banyak minum dan berada di ruangan yang dingin, tapi bagaimana kalau ruangan yang dingin itu justru membekukan otakku? Ah, kenapa harus ada panas dan dingin? Kenapa otak harus encer saat menghasilkan dengungan-dengungan ide? Kenapa tulisannya ini jadi menggunakan kata ganti pertama? Sial! Semoga tidak ada yang sadar. Amin.



Dear, otak..
Bisakah kita bicara? Mungkin agak sulit mengingat kau tidak memiliki mulut. Telepati mungkin bisa manjadi jalan keluarnya, sayangnya yang dapat melakukan telepati hanya kau. Aku akan mencari cara, kita harus bicara dari hati ke hati. Ehm, kalimat itu terdengar buruk. Seolah kita sepasang kekasih, padahal kita ada di satu tubuh dan satu jiwa. Kita tidak mungkin menjadi sepasang. Iya kan? Tidak, kita bukan setengah pasang kekasih! Kita bahkan bukan KEKASIH! Tidak, tidak! Kau harusnya tau, kekasih harus sepasang dan tidak ada setengah pasang kekasih. Ah, sudahlah, kita bahas urusan ini nanti. Sekarang kita harus mencari cara agar aku dapat berbicara denganmu dulu. Kita seperti dua orang idiot kalau begini. Kita sedang berbicara tetapi mencari cara untuk berbicara. Bodoh! Sejak kapan kau jadi bodoh begini? Kalimat itu seharusnya menghinamu, tapi entah kenapa aku merasa jauh lebih terhina. Sial, sulit sekali untuk bisa sekedar menghinamu tanpa merasa lebih terhina. Jadi, begini karena kita sudah bicara sekarang, meski tidak dari hati ke hati, intinya adalah bisakah kau membantuku? Kau cukup menjadi cair, sehingga dapat menghasilkan ide. Itu saja gampangkan? Maaf, ada telepon, pasti salah sambung dari kutub selatan, kita sambung lagi lain kali. Tolong pertimbangkan permintaanku. Terima Kasih.

"Halo"
"Halo, bisa bicara dengan..."
"Maaf, salah sambung. Nomor ini adalah layanan bebas pulsa angkatan udara Kemalaikatan."
TUT TUT TUT TUT...

Bagaimana? Sudah kau pertimbangkan? Begini, kalau kau mau, aku bisa memberikan sebuah penawaran yang menarik. Bagaimana kalau... Maaf, telepon sialan itu lagi.

"Halo"
"Halo, begini tuan. Saya..."
"Dengar, saya sedang sibuk dan seperti yang saya katakan tadi, dan sebulan yang lalu, dan juga tiga tahun yang lalu, dan entah kapan lagi. Anda salah sambung, jadi..."
"Tapi, tuan, saya..."
"Dengar, saya tidak punya banyak waktu dan jangan telepon lagi ke nomor ini. Terima Kasih."
TUT TUT TUT...

Sampai dimana kita tadi? Di Eropa? Bukan, bukan itu yang kumaksud, maksudnya percakapan kita. Baca lagi saja paragraf diatas? Ehm, ya kau benar juga. Jadi begini, kalau kau setuju untuk mencair dan memunculkan banyak ide, aku akan memberimu sebuah villa khayalan yang indah, sebuah pulau khayalan dan... Lima pulau khayalan dan enam villa? Ehm, tidak masalah, jadi kita sepakat? Baiklah, aku tunggu kabar darimu tiga minggu lagi. Selamat Malam.

No comments:

Post a Comment