Apr 30, 2011

Philo-Sophy

Ya! Ini adalah, sekali lagi dan lagi-lagi, sesuatu yang kalian sebut sebagai sebuah cerita, mereka sebut sebagai story, dan saya menyebutnya sebuah kisah. Layaknya jutaan, miliaran, atau bahkan triliunan kisah yang lain, kisah ini pun sama bisa berakhir bahagia atau sangat amat menyedihkan tergantung siapa dan bagaimana kisah ini diceritakan. Karena kisah ini akan dan sedang diceritakan oleh saya, maka kisah ini akan berakhir... tebak sendiri dan mulailah berdoa tebakan anda benar

Cerita ini berawal dari sebuah kebohongan yang menghasilkan kebohongan yang lainnya, janji-janji yang terucap di atas kebohongan-kebohongan tersebut, hingga melewati batas-batas kesabaran yang akhirnya melahirkan benih-benih ketidakpercayaan. Benih-benih itu kemudian tumbuh menjadi protes, awalnya kecil tidak terasa, namun pelan tapi pasti ia tumbuh dan besar melahap semua janji-janji palsu dan setiap kebohongan yang dibuat oleh Para Petinggi. Hal itu berlangsung puluhan tahun dan akhirnya menjadi sebuah warisan untuk Petinggi berikutnya. Hingga suatu hari, runtuhlah kerajaan kebohongan tersebut dijatuhkan dari puncaknya oleh lemparan batu-batu protes dari Mereka Yang Dibawah. Namun, setiap kebohongan dan janji palsu itu telah meresap ke dalam kursi-kursi indah yang mereka duduki, kertas-kertas yang mereka tanda tangani, dan akhirnya mendarah daging dalam setiap sel mereka. Kini, kebohongan-kebohongan dan janji-janji palsu itu, secara otomatis turun dan berkembang dalam dna anak-anak mereka.



Mereka Yang Dibawah, merasa bangga telah menjatuhkan Para Petinggi itu. Mereka kira dengan hancurnya kerajaan kebohongan itu, mereka akan memasuki sebuah era baru yang lebih baik, Petinggi yang lebih bijak dan jujur. Setelah melepaskan amarah dan kekecewaaan mereka terhadap kerajaan kebohongan yang dibuat oleh Para Petinggi yang lama, kini kesabaran mereka kembali ke batas normal. Kini, setiap Calon Petinggi yang baru sibuk menyiapkan janji-janji baru mereka dan Mereka Yang Dibawah akan memilih Petinggi yang baru. Namun, kini mereka menerapkan sistem yang baru, calon yang baru, satu hal yang sama, janji-janji itu masih tetap lahir.

"Semoga kali ini bukan janji-janji palsu," kata salah seorang Mereka Yang Dibawah. Harapan dan memang hanya itu yang mereka punya. Pemilihan pun dilakukan dan calon-calon yang baru terpilih. Para Petinggi tersebut menduduki singasana mereka yang baru. Sebagian besar memulai pekerjaan mereka dengan baik, namun akhirnya darah dan daging lah yang berperan. Setiap sel-sel kebohongan mereka aktif berpacu dan menyatu dengan sel-sel di otak mereka. Akhirnya, tidak ada yang berubah semuanya sama saja, tetap saja kebohongan dan janji palsulah yang duduk di kursi itu. Para petinggi hanyalah budak dari setiap kebohongan dan janji-janji itu.

"Semoga janji-janji itu cepat terwujud. Aku sudah lelah dan jenuh dengan janji-janji itu," kata Philo.
"Sabar saja. Kita sedang ada di persimpangan jalan yang akan mengembalikan semuanya kembali ke keadaan yang seharusnya," jawab istrinya, Sophy.
"Tapi, sampai kapan kita harus menunggu?"
"Entahlah. Semoga saja tidak selamanya."
"Semoga saja."

Dan kisah ini pun berakhir. Biarkanlah Philo dan Sophy menikmati obrolan mereka dan biarkan Philo hidup tenang dan tidak pernah tahu bahwa Sophy sudah pernah merusak hubungan Bunga dan menikah dua kali dengan Eco dan Pria.

Pesan yang dapat kita tangkap dari cerita di atas adalah kita menginginkan kebebasan, berpihak pada sisi yang MENURUT kita adalah pihak yang benar, dan berharap adanya perubahan yang lebih baik, namun kenyataan tidak pernah selamanya sesuai dengan apa yang kita harapkan. Banyak yang berseru, "Kami ingin kehidupan yang LEBIH BAIK!!!" tapi mereka hanya berseru. Saat tidak ada yang terjadi mereka marah, marah pada orang lain, mencari kambing putih dan hitam untuk diabu-abukan dan kurasa memang hanya itu yang bisa mereka lakukan. Yah, suka tidak suka, saya salah satu dari mereka. Terkadang, saya meneriakkan sesuatu seperti "STOP KKN", "GO GREEN!", dan hal-hal lain yang memang baik. Tapi, seperti hanya mereka saya hanya berseru tanpa melakukan apapun, mencari kamping untuk diabu-abukan. Menyedihkan memang, tapi itulah kenyataannya. Kita, atau setidaknya saya, didik untuk menjadi, dalam konteks ini, orang yang baik, tapi hal itu seperti melawan arus. Jika menjadi orang baik, kita seperti mempermalukan diri sendiri, di olok-olok oleh lingkungan yang lupa apa itu kebaikan. Jika sudah begitu, kita terpaksa dan mungkin juga terbawa arus menjadi orang jahat. Lalu, apa gunanya semua pelajaran yang kita dapat dari kecil? Jawabannya sederhana, mengisi waktu luang sebelum kita menjadi jahat.

Terakhir, pesan yang paling penting dari kisah ini adalah Sophy sudah bercerai dari Pria, berita baik bagi Bunga. Kini, ia adalah istri dari Philo.

No comments:

Post a Comment