Dec 30, 2010

Sebuah Cerita

Hari ini, saya mau menulis sebuah cerita. Judulnya? Belum kepikiran. Kisahnya? Belum tahu. Jadi? Baru sekedar mau nulis. Belum tahu apa yang mau ditulis. Ah, saya tahu. Saya akan menulis cerita mengenai "Tahu", sekedar informasi "Tahu" ini bukan temannya "Tempe" yang tinggal di Gang Lauk Pauk no 1001. "Tahu" yang saya maksudkan disini adalah "Tahu" yang menjadi sebuah kata yang tersiksa selama berabad-abad karena kesalahan Para Sastrawan dan Para Sastrawati Bahasa Aisenodni. Kesalahan yang sederhana tapi sangat fatal.

Begini, ceritanya...



Pada suatu hari, saat para... Ah, ini seperti cerita anak TK dan SD yang baru belajar menulis cerita pendek. Apapun ceritanya mereka selalu memulai dengan "Pada suatu hari, bla bla bla", bahkan jika itu terjadi dua hari atau tiga jam yang lalu. Semua cerita mereka akan diawali oleh tiga kata ajaib itu. Sebagai Seorang Malaikat yang telah lulus TK dengan nilai pas-pasan dan berhasil mendapatkan ijasah SD dari seorang tukang loak, maka akan saya ganti dengan, pada suatu malam. Sama saja? Tidak ini berbeda. Tidak ada anak TK dan SD yang akan mengawali tulisannya dengan "Pada suatu malam". Apalagi dilanjutkan dengan "di kamar mandi sebuah kamar hotel, seorang wanita sedang..." dan sebelum cerita ini berganti dengan cerita wanita tersebut, sebaiknya kita lanjutkan cerita kita mengenai Si "Tahu".

Pada suatu malam, saat para satrawan dan satrawati paling terkemuka dan paling tua di Aisenodni berkumpul untuk membuat Kamus Besar Bahasa Aisenodni. Dimulailah, malam yang kelam bagi Si "Tahu". Pada malam itu setiap kata ditulis dan dikamuskan. Mulai dari huruf A, dialah yang paling beruntung dia ditulis saat tinta masih penuh dan kertas masih kosong. Kemudian B, dia agak kurang beruntung karena A menghabiskan cukup banyak tinta dan kertas. Dilanjutkan dengan C yang mendapatkan kiriman kertas baru, lalu D yang harus menunggu 3 jam karena kereta api yang bertugas mengirim tinta terjebak macet dan seterusnya dan seterusnya. Saya yakin anda tidak mau membaca satu paragraf cerita mengenai kertas, tinta, dan ke 26 abjad lainnya. Oleh karena itu, sambil menunggu Para Sastrawan dan Sastrawati itu mengamuskan E, F, G, H, I, J, K, L, M, N, O, P, Q, R, dan S kita lihat dulu peruntungan Si Tahu pada malam ini. Menurut, tanggal lahirnya, 20 agustus, ia berzodiak Virgo, bintang bagi para Gadis Perawan. Sungguh tragis nasibnya, ia lahir sebagai pria dibawah bintang bagi wanita. Ini adalah sebuah dilema bagi orang tuanya. Mereka tidak bisa menganti namanya menjadi nama perempuan. Tidak, itu hanya akan memperburuk nasib anak mereka. Akhirnya mereka pasrah pada takdir dan menamai anak mereka, Tau dan menurut ramalan zodiak, hari ini nasibnya sedang bagus ia akan menerbitkan, ah.., maksud saya, ia akan diterbitkan ke dalam sebuah kamus dan ia akan menemukan pasangan hidupnya. Selama seharian ini ia akan mendapatkan berkat dari Dewi Virgo, semua hal yang terjadi padanya akan berjalan dengan baik lancar tanpa hambatan. Intinya, ini adalah hari keberuntungannya. Lihat, belum tiga langkah ia keluar dari rumahnya, ia bertemu dengan seorang wanita cantik yang entah kenapa langsung menyetujui ajakan kencannya. Sungguh beruntung, mungkin memang berkat dari Dewi Virgo. Mereka menghabiskan waktu seharian berduaan di pinggir danau memberi makan ikan, bebek dan setiap binatang yang kebetulan lewat. Lalu, malam pun tiba dan Tau berpamitan kepada si Gadis itu untuk pulang. Setibanya di rumah, ia baru ingat kalau lupa menanyakan nama Gadis itu. Ah, siapa yang perduli, toh besok juga bisa ketemua lagi. Akhirnya, ia berangkat ke acara pengkamusan.

Kini setelah, hari yang panjang, melelahkan dan menyenangkan bagi si Tau dan malam yang panjang serta sangat amat melelahkan bagi para satrawan dan sastrawti, tibalah giliran Si Tau untuk dikamuskan.

Namun, sesuatu terjadi saat ia maju untuk dikamuskan!

"TENG! TENG! TENG! TENG! TENG! TENG! TENG! TENG! TENG! TENG! TENG! TENG!"

Jamnya. Jamnya berdentang dua belas kali! Dan seperti Cinderlella kehilangan efek sihir dari Si Peri, perlindungan Sang Dewi pun lenyap, hilang tanpa bekas darinya dan dimulailah malam yang kelam bagi Si Tau. Bagi anda yang tidak tahu cerita Cinderlella, suatu hari nanti, mungkin saya akan menceritakannya.

Lalu, ia maju, dicatat, dan dikamuskan. Namun, ada yang salah, yang tertulis dikamus itu bukan Tau, tapi Tahu. Terkutuklah Para Sastrawan dan Sastrawati itu, mereka salah mengamuskan namanya. Tau berubah menjadi Tahu, tetapi tetap dibaca Tau. Lalu kenapa harus ditulis Tahu, kenapa tidak Tau? Kenapa ada huruf H disitu? Apa fungsi dari si huruf H, sehingga ia mendapatkan sebuah tempat di dalam nama Tau? Semua pertanyaan itu berkecamuk didalam benaknya. Akhirnya, dengan perasaan kesal dan pasrah ia pulang.

Di tengah perjalanan pulang, ia bertemu lagi dengan si gadis. Ihiy! Sepertinya masih ada sedikit berkat Sang Dewi yang tersisa. Ia pun memberanikan diri maju dan menyapa si gadis.

Tahu : "Hallo.."
Si Gadis : "Hallo.."

15 menit kemudian..

Tahu : "..."

30 menit kemudian..

Tahu : "Lagi ngapain?" (Ya, ampun. Setelah 30 menit! 30 MENIT mengamati si Gadis berdiri, atau mungkin duduk, disana!! Tidakkah dia bisa menggambil kesimpulan sendiri tentang apa yang dilakukan Si Gadis disana. Argh!)
Si Gadis : "Duduk." (Nice!)
Tahu : "oh." (What the!! Hanya itu? Oh, tidak. Jangan! Jangan! Jangan tunggu 30 menit lagi.)
Tahu : "Maaf, sepertinya kita belum kenalan. Perkenalkan nama saya Tau, yang artinya mengerti. Sebenarnya, di tulis TE A U, tapi para sastrawan itu mengubahnya tanpa perasaan menjadi TE A HA U. Sungguh tidak berprikekataan. Mereka tidak menghargai Hak Asasi Kata!"
Si Gadis : "Iya. Mereka sungguh keterlaluan, namaku juga diubah."
Tahu : "Mereka menggubah namamu juga?! Ini tidak bisa dibiarkan. Aku akan memprotes mereka. Mereka boleh saja menggubah namaku, tapi nama gadis secantik kau, tidak itu tidak boleh terjadi!" (Akhirnya, pembicaraan ini tidak akan diisi oleh titik titik.)
Si Gadis : "Kau, ingin memprotesnya?"
Tahu : "Ya. Jadi, siapa namamu? Biarku protes."
Si Gadis : "Yakin, kau ingin tahu?"
Tahu : "Ya!"
Si Gadis : "Tapi, namaku tidak sebagus namamu."
Tahu : "Apalah arti sebuah nama? Sudah, beri tahu saja."
Si Gadis : "Baiklah, kalau kau memaksa. Namaku Tai, ditulis.."

Sebelum si Gadis menyelesaikan kalimatnya, Si Tahu lari. Ya, lari! Bukan, bukan ke arah para sastrawan dan satrawati untuk memprotes sebuah dua buah kesalahan yang mereka buat malam ini, tapi berlari lurus, dengan arah yang jelas. Ke arah depan. Tentu saja. Bukankah sudah kukatakan kalau ia berlari lurus? Dalam sekejap, ia sudah menghilang dari pandangan si Gadis dan, si gadis, atau sebut saja Tahi, kembali sendirian disana.

Dengan itu, berakhirlah perlindungan Sang Dewi kepada Tahu dan berakhir jugalah cerita ini dengan sedikit kebahagiaan pada awalnya. :)

Saya tahu ini cerita yang buruk. Ada terlalu banyak hal yang tidak masuk akal di sana, seluruh alurnya tumpang tindih, dan berakhir dengan penuh keterpaksaan, tapi siapa yang peduli? Anda? Kalau anda merasa cerita tersebut begitu buruk, maka buatlah yang lebih baik. Saya tunggu cerita anda. :D

Sampa jumpa lagi, tahun depan. Ya, ini berarti kita akan bertemu satu hari empat puluh empat menit lima puluh tiga detik lagi.

No comments:

Post a Comment